Hantu Menurut Syari'ah Islam
Pembahasan tentang hantu selalu unik dan menarik untuk diulas. Namun,
sayangnya jarang sekali yang membahasnya melalui sudut pandang syari’at
Islam. Oleh karenanya, kami merasa perlu untuk membahas tentang hantu
ini sebab banyaknya kerancuan seputar masalah ini dan anggapan sebagian
kalangan bahwa Islam tidak membahas tentangnya, bahkan ada yang
melampaui batas sehingga menganggap bahwa hantu adalah salah satu
Tuhan(!). Maha Suci Allah dari ucapan mereka.[1]
Nah, tulisan ini akan lebih difokuskan pada hadits-hadits Nabi yang
membicarakan tentang “hantu” karena dalam sebagian hadits ada penjelasan
tentang adanya hantu tetapi dalam hadits lain ada penjelasan bahwa
hantu itu bukan hantu. Lantas, bagaimana cara mengkompromikannya?!!
Teks Hadits
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ « لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا غُولَ ».
Dari Jabir berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Tidak ada penyakit menular, thiyarah (merasa sial), dan ghul (hantu).’ ”
SHAHIH. Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîh-nya no. 2222, Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzîbul Âtsâr no. 25, Ali bin Ja’ad dalam Musnad-nya no. 2693, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3251, Ahmad dalam Musnad-nya 3/293, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 281, ath-Thahawi dalam Musykilul Âtsâr 1/340 seluruhnya dari jalur Abu Zubair dari Jabir.
Dan riwayat Abu Zubair dari Jabir adalah lemah, sebab Abu Zubair adalah seorang mudallis (menyembunyikan cacat) dan dia meriwayatkan dengan lafazh ’an
(dari). Namun, hadits ini shahih karena dalam jalur lain telah
ditegaskan bahwa Abu Zubair mendengar langsung dari Jabir, sebagaimana
dalam jalur Ibnu Juraij dalam riwayat Ibnu Jarir dalam Tahdzîbul Âtsâr no. 26, ath-Thahawi dalam Musykilul Âtsâr 1/340, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 268, Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya no. 6095.
Hadits ini sangat jelas menunjukkan penafian (peniadaan) adanya ghul. Apa yang dimaksud dengan ghul? Berikut ini ungkapan beberapa ucapan ulama dan ahli bahasa tentangnya:
• Ibnu Duraid berkata, “Ghul menurut orang Arab adalah tukang sihir dari kalangan setan dan jin. Inilah pendapat al-Ashma’i.” [2]
• Ibnul Manzhur berkata, “Ghul adalah penyihir dari jin.” [3]
• Ibnu Katsir berkata, “Ghul dalam bahasa Arab artinya jin yang tampak di malam hari.” [4]
• Al-Jahidz berkata, “Ghul adalah ungkapan untuk jin yang
mengganggu orang yang bepergian dan menjelma dalam beberapa bentuk, baik
berjenis pria atau wanita.” [5]
Dari sini dapat kita ketahui bahwa hantu (ghul) bukanlah arwah
gentayangan atau orang mati yang bisa hidup kembali arwahnya untuk balas
dendam, karena semua itu adalah khurafat yang batil, sejenis dengan
reinkarnasi yang merupakan aqidah orang-orang kafir yang dibatalkan oleh
Islam.
Sekilas Bertentangan
Hadits di atas menunjukkan bahwa hantu itu tidak ada, namun dalam
hadits lainnya Nabi menetapkan adanya hantu, diantaranya adalah hadits
Abu Ayyub sebagai berikut:
Dari Abu Ayyub bercerita bahwa dirinya memiliki sebuah rak/lemari
kecil, lalu hantu datang seraya mengambil (baca: mencuri) isinya.
Akhirnya beliau mengeluhkan hal itu kepada Nabi, maka Nabi berkata
kepadanya, “Apabila kamu melihatnya maka katakanlah: ‘Dengan nama Allah,
penuhilah Rasulullah.’” Ketika hantu itu datang lagi, maka Abu Ayyub
mengatakan seperti yang dipesankan Nabi seraya menangkapnya, tetapi
hantu itu mengatakan, “Saya berjanji tidak akan datang lagi kemari.”
Mendengarnya, Abu Ayyub melepaskannya. Ketika dia bertemu dengan Nabi,
maka Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang diperbuat oleh tawananmu?” Abu
Ayyub menjawab, “Saya menangkapnya tetapi dia berjanji padaku untuk
tidak kembali lagi sehingga saya lepaskan lagi.” Nabi bersabda, “Dia
akan kembali lagi.” (Kata Abu Ayyub:) Saya telah menangkapnya dua atau
tiga kali tetapi dia selalu berjanji padaku untuk tidak kembali lagi.
Suatu saat ketika saya menangkapnya, dia mengatakan padaku, “Lepaskanlah
aku dan saya akan mengajarkan kepadamu sebuah ucapan yang jika engkau
membacanya niscaya engkau tidak diganggu oleh setan yaitu bacaan Ayat
Kursi.” Abu Ayyub lalu datang kepada Nabi seraya mengabarkan omongan
hantu tersebut, lalu Nabi bersabda, “Dia benar dalam hal ini, padahal
dia adalah pembohong.”
SHAHIH. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi no. 2880, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 10/397–398, ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 4011, Abu Nu’aim dalam Dalâil Nubuwwah hlm. 526, al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/459, ath-Thahawi dalam Musykilul Âtsâr 5/423.
Hadits ini memiliki banyak jalur dan penguat dari hadits Ka’ab bin
Malik, Abu Hurairah, Muadz bin Jabal, Buraidah, Abu Usaid as-Sa’idi, dan
sebagainya. Oleh karenanya, Imam Hakim berkata, “Hadits-hadits ini
apabila dikumpulkan maka menjadi hadits yang masyhur.” Dan Imam Dzahabi
berkata mengomentari hadits di atas, “Ini adalah jalur hadits ini yang
paling bagus.” Dan dishahihkan Syaikh Albani dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzî no. 2880.
Hadits ini dan hadits-hadits lainnya menunjukkan tentang adanya hantu.[6]
Hal ini diperkuat oleh ucapan sebagian ulama bahwa banyak para sahabat
yang melihat hantu, di antaranya adalah Umar bin Khaththab a\.[7] Imam Qurthubi juga berkata, “Mayoritas orang Arab banyak bercerita dan mengaku bahwa mereka pernah melihat hantu.” [8]
Dan dalam hadits ini terdapat faedah lainnya yaitu mungkinnya seorang
untuk melihat jin dan hantu tetapi bukan dengan bentuk asli mereka dan
bahwasanya hantu bisa berubah-rubah wujudnya[9]
karena mereka adalah tukang sihir dari kalangan jin sebagaimana kata
Umar bin Khaththab, “Tidak ada seorang pun yang bisa berubah dari wujud
asli ciptaan Allah, tetapi pada mereka (jin) terdapat tukang sihir
seperti pada kalian (manusia). Karena itu, jika kalian melihat hantu
maka kumandangkan adzan.” [10]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Banyak sekali hadits yang menunjukkan
bahwa mereka bisa berubah wujud. Ahli kalam berselisih tentang hal itu.
Ada yang berpendapat bahwa itu hanya fiktif/khayalan belaka dan tidak
ada yang bisa berubah wujud. Dan ada yang berpendapat bahwa mereka bisa
berubah wujud tetapi bukan dengan kemampuan mereka namun dengan
melakukan ritual-ritual seperti sihir.” [11]
Mengurai Benang Kusut
Bila kita cermati dua hadits di atas, sekilas nampak ada kontradiksi, sebab di satu sisi Nabi meniadakan adanya ghul
(hantu), tetapi di sisi lain beliau juga menetapkan wujudnya. Oleh
karena itu, para ulama berusaha untuk menjelaskan duduk permasalahan
tersebut dan pendapat mereka terpolar menjadi tiga pendapat:
Pendapat pertama: Hantu itu tidak ada wujudnya
Mereka mengatakan: Hantu hanyalah untuk menakuti-nakuti saja tetapi
sebenarnya wujud mereka tidak pernah ada. Di antara yang berpendapat
demikian adalah al-Mabrid, Abdurrahman al-Maidani, dan Syaikh Muhammad
Rasyid Ridha beliau mengatakan, “Pendapat yang kuat dan masuk akal bahwa
hantu itu hanyalah fiktif dan khayalan belaka yang tidak ada faktanya.
Bisa jadi orang yang melihatnya karena melihat hewan yang aneh seperti
kera.” [12]
Namun, pendapat ini lemah sebab bertentangan dengan hadits Abu Ayyub dan atsar Umar bin Khaththab di atas.
Pendapat kedua: Hantu pernah ada kemudian sudah tidak ada lagi
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Thahawi, beliau mengatakan setelah
membawakan hadits Abu Ayyub, “Dalam hadits ini Nabi menetapkan adanya
hantu, namun dalam hadits-hadits sebelumnya Nabi meniadakannya. Mungkin
seorang akan mengatakan bahwa ini adalah kontradiksi antara hadits Nabi.
Kita jawab: Tidak ada kontradiksi antara keduanya karena bisa jadi
hantu memang ditetapkan dalam hadits Abu Ayyub, namun setelah itu
diangkat oleh Allah sebagaimana dalam hadits Jabir. Inilah metode yang
paling baik untuk mengkompromikan antara hadits-hadits ini.” [13] Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Malik.[14]
Namun, pendapat ini juga lemah karena tidak ada dalil yang jelas akan adanya nasikh mansukh (ada yang menghapus dan dihapus).
Pendapat ketiga: Pendapat yang kuat
Mayoritas ulama mengatakan bahwa maksud Nabi “Tidak ada ghul” bukan
berarti tidak ada wujud hantu, tetapi maksud Nabi adalah meniadakan
kepercayaan dan khurafat yang beredar di masa jahiliah (hingga sekarang)
bahwa hantu makan manusia, menyesatkan manusia di jalan, bebas menjelma
seenaknya, dan sebagainya.
Pendapat ini adalah pendapat yang lebih kuat ditinjau dari beberapa alasan sebagai berikut:
1. Tidak terbukti secara syar’i, akal, dan fakta bahwa hantu memakan
manusia, penampakan di lembah-lembah seperti khurafat-khurafat yang
beredar.
2. Nabi mengiringkan peniadaan hantu dengan peniadaan penyakit menular, bulan Shafar, dan thiyarah
(merasa sial) padahal Nabi juga menetapkan adanya penyakit menular,
sehingga para ulama menjelaskan bahwa maksud ucapan Nabi bahwa tidak ada
penyakit menular yakni keyakinan jahiliah bahwa penyakit itu menular
dengan sendirinya, bukan berarti tidak ada penyakit menular sama sekali.[15]
Ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan, “Dalam sabda Nabi ‘Tidak ada
ghul/hantu’ terdapat penjelasan bahwa Nabi membatalkan kepercayaan
jahiliah tentang hantu bahwa mereka bisa menolak bahaya dan memberikan
manfaat tanpa campur tangan Allah. Oleh karena itu, Nabi mengiringkannya
dengan kepercayaan bangsa Arab lainnya bahwa hal-hal tersebut bisa
membahayakan dan bermanfaat dengan sendirinya seperti penyakit menular,
bulan Shafar, dan thiyarah.” [16]
3. Imam Nawawi berkata, “Mayoritas ulama mengatakan, ‘Bangsa Arab
berkeyakinan bahwa hantu dari jenis setan di lembah-lembah bisa menjelma
dengan berbagai bentuk lalu menyesatkan jalan mereka lalu membinasakan
mereka.’ Oleh karenanya, Nabi membatalkan hal itu. Ulama lainnya
mengatakan, ‘Maksud hadits ini bukanlah peniadaan wujudnya hantu,
melainkan maksudnya adalah membatalkan keyakinan orang Arab bahwa hantu
bisa menjelma dalam berbagai bentuk lalu menyesatkan manusia.’ ” [17]
4. Dalam beberapa hadits dari Abu Ayyub, Ubai bin Ka’ab, dan
sebagainya ditunjukkan bahwa maksud peniadaan dari hantu adalah bukan
peniadaan wujud mereka, melainkan keyakinan orang Arab tentang hantu.
As-Suhaili berkata, “Makna ‘Tidak ada ghul/hantu’ adalah Nabi
membatalkan keyakinan jahiliah seputar dongeng-dongeng dan khurafat
tentang hantu.” [18]
Al-Baghawi juga berkata, “Sabda Nabi ‘Tidak ada ghul/hantu’ bukanlah
berarti tidak ada wujud hantu, melainkan maksudnya adalah tidak ada
kepercayaan Arab yang mengatakan bahwa hantu bisa menjelma kepada
manusia dengan berbagai bentuk lalu menyesatkan mereka dan membinasakan
mereka. Syari’at mengabarkan bahwa hantu tidak mungkin bisa melakukan
semua itu berupa penyesatan dan kebinasaan kecuali dengan izin Allah.” [19]
Benteng Diri dari Gangguan Hantu
Syari’at Islam telah sempurna, tidak ada suatu kebajikan apa pun
kecuali telah dijelaskan dan tidak ada suatu keburukan pun kecuali telah
diperingatkan. Di antara hal yang dijelaskan oleh Islam adalah
kiat-kiat agar terhindar dari gangguan hantu. Bagaimana caranya?
Ikutilah petunjuk berikut:
1. Membaca nama Allah
Dalam hadits Abu Ayyub di atas dikisahkan bahwa ketika beliau
mengeluhkan kepada Nabi n\ dari gangguan hantu maka beliau bersabda:
فَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَجِيبِى رَسُولَ اللَّهِ
“Katakanlah bismillah (dengan nama Allah), penuhilah Rasulullah.”
2. Membaca Ayat Kursi
Dalam hadits Abu Ayyub di atas juga disebutkan bahwa hantu yang
ditangkapnya mengatakan pada Abu Ayyub, “Lepaskanlah aku dan saya akan
mengajarkan kepadamu sebuah ucapan yang jika engkau membacanya niscaya
engkau tidak diganggu oleh setan yaitu bacaan Ayat Kursi.” Abu Ayyub
lalu datang kepada Nabi seraya mengabarkan omongan hantu tersebut, lalu
Nabi bersabda, “Dia benar dalam hal ini, padahal dia adalah pembohong.”
3. Memakmurkan rumah dengan dzikir dan ketaatan
Hal ini berdasarkan sabda Nabi:
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِى تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari
dari rumah yang dibacakan di dalamnya Surat al-Baqarah.” (HR. Muslim:
1860)
At-Turkumani pernah bercerita bahwa salah seorang gurunya sering
diganggu oleh hantu ketika malam hari sehingga melempari batu dan
membuat penghuni rumah takut, lalu beliau dan rekannya pergi ke rumah
sang guru dan membaca Surat al-Baqarah secara sempurna kemudian berdoa.
Setelah itu, rumah tersebut tidak lagi diganggu oleh hantu. Semua itu
adalah karena keberkahan al-Qur’an.[20]
4. Menghilangkan rasa takut terhadap hantu
Inilah wasiat Umar bin Khaththab tatkala mengatakan, “Buatlah hantu takut kepada kalian sebelum mereka membuat kalian takut.”. [21]
5. Tidak bergadang ketika sudah larut malam
Hal ini berdasarkan hadits:
إِيَّاكَ وَالسَّمَرَ بَعْدَ هَدْأَةِ اللَّيْلِ، فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُوْنَ مَا يَأْتِي اللَّهُ مِنْ خَلْقِهِ
“Janganlah kalian bergadang ketika malam sudah sunyi/hening, karena
kalian tidak tahu apa yang Allah datangkan dari makhluk-Nya.” [22]
6. Mengumandangkan adzan
Ada beberapa hadits yang lemah tentang masalah ini, tetapi ada hadits
shahih yang dijadikan dasar oleh ulama dalam masalah ini yaitu:
إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ حُصَاصٌ
“Sesungguhnya apabila muadzin mengumandangkan adzan maka setan akan lari dengan terkentut-kentut.” [23]
Abu Awanah mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini, “Dalam hadits
ini terdapat dalil bahwa seorang apabila merasa ada hantu atau mendapati
orang yang kesurupan lalu dia adzan maka setan akan lari darinya.” Dan
ini juga didukung oleh atsar Umar bin Khaththab yang lalu, karena atsar
tersebut adalah shahih, dan sekalipun hanya sampai kepada Umar (mauquf) namun hukumnya marfu’ (sampai kepada Nabi).
Demikianlah pembahasan singkat tentang hantu. Kita berdo’a kepada
Allah agar menjaga kita semua dari godaan setan yang terkutuk dan
memberikan kepada kita semua kebahagiaan dan ketenteraman di dunia dan
akhirat. Âmîn yâ Rabbal ’âlamîn.
Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
[1]
Para ulama telah menulis secara khusus tentang masalah “hantu” seperti
Muhammad bin Ahmad bin Thulun ash-Shalihi (wafat 953 H) dalam bukunya Bughyatus Sûl fî Mâ Warada fil Ghûl sebagaimana dalam al-Fuluk al-Maskhun fî Ahwali Muhammad bin Thulun hlm. 30 dan at-Tadzkirah at-Taimuriyyah hlm. 292. Dan pada zaman sekarang, Syaikhuna Masyhur bin Hasan alu Salman telah menulis buku berjudul al-Ghûl Bainal Hadîts Nabawi wal Mauruts Sya’bi
cet. Dar Ibnul Qayyim, KSA, cet. pertama, 1409 H. Dan dalam pembahasan
ini, kami banyak mengambil manfaat dari buku beliau tersebut beserta
nukilan-nukilannya. Perhatikanlah!!
[2]
Jamharatul Lughah 3/150
Jamharatul Lughah 3/150
[3]
Lisânul ’Arab 11/510
Lisânul ’Arab 11/510
[4]
Tafsîr al-Qur’ânil ’Azhîm 1/313
Tafsîr al-Qur’ânil ’Azhîm 1/313
[5]
Al-Hayawan 6/442
Al-Hayawan 6/442
[6]
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/489, al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah 7/121, Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 1/314 dan al-Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 8/185.
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/489, al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah 7/121, Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 1/314 dan al-Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 8/185.
[7]
Seperti diceritakan oleh al-Qazwini dalam ’Ajâibul Makhluqât 2/176–177, ad-Damiri dalam Hayâtul Hayawan al-Kubrâ 2/196, al-Mas’udi dalam Muruj Dzahab 2/169.
Seperti diceritakan oleh al-Qazwini dalam ’Ajâibul Makhluqât 2/176–177, ad-Damiri dalam Hayâtul Hayawan al-Kubrâ 2/196, al-Mas’udi dalam Muruj Dzahab 2/169.
[8]
Lihat juga Tafsîr al-Qurthûbî 15/87.
Lihat juga Tafsîr al-Qurthûbî 15/87.
[9]
Oleh karena itu, dari berbagai riwayat hadits Abu Ayyub bahwa hantu itu berwujud seekor kucing lalu berubah menjadi nenek tua. Dalam hadits Ubai bin Ka’ab hantu itu berwujud bocah kecil bertangan dan berambut anjing. Dalam hadits Mu’adz hantu itu berwujud gajah.
Oleh karena itu, dari berbagai riwayat hadits Abu Ayyub bahwa hantu itu berwujud seekor kucing lalu berubah menjadi nenek tua. Dalam hadits Ubai bin Ka’ab hantu itu berwujud bocah kecil bertangan dan berambut anjing. Dalam hadits Mu’adz hantu itu berwujud gajah.
[10]
Shahih. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 5/162, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 10/397, Ibnu Hazm dalam al-Fishâl 5/5. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fat-hul Bârî (6/344), “Sanadnya shahih.”
Shahih. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf 5/162, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 10/397, Ibnu Hazm dalam al-Fishâl 5/5. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fat-hul Bârî (6/344), “Sanadnya shahih.”
[11]
Fat-hul Bârî 6/344
Fat-hul Bârî 6/344
[12]
Tafsîr al-Manâr 7/526. Lihat pula al-Hayawan 6/472 oleh ad-Damiri, Dhawâbith al-Ma’rifah wa Ushûl Istidlâl wal Munâzharah hlm. 31 oleh Abdurrahman al-Maidani, dan Bulûghul ’Arab 2/348 oleh al-Alusi.
Tafsîr al-Manâr 7/526. Lihat pula al-Hayawan 6/472 oleh ad-Damiri, Dhawâbith al-Ma’rifah wa Ushûl Istidlâl wal Munâzharah hlm. 31 oleh Abdurrahman al-Maidani, dan Bulûghul ’Arab 2/348 oleh al-Alusi.
[13]
Musykilul Âtsâr 1/342 dan dinukil oleh al-Ubai dalam Ikmalu Ikmalil Mu’lim Syarh Shahih Muslim 6/40.
Musykilul Âtsâr 1/342 dan dinukil oleh al-Ubai dalam Ikmalu Ikmalil Mu’lim Syarh Shahih Muslim 6/40.
[14]
Mabariqul Azhar 1/238
Mabariqul Azhar 1/238
[15]
Lihat secara luas tentang masalah penyakit menular dalam tulisan kami “Penyakit menular antara ilmu hadits dan ilmu medis” dalam Majalah Al Furqon edisi…
Lihat secara luas tentang masalah penyakit menular dalam tulisan kami “Penyakit menular antara ilmu hadits dan ilmu medis” dalam Majalah Al Furqon edisi…
[16]
Tahdzîbul Âtsâr 1/36–37. Lihat pula Ikmalu Ikmalil Mu’lim 6/40–41 oleh al-Ubai, Faidhul Qadîr 6/434 oleh al-Munawi.
Tahdzîbul Âtsâr 1/36–37. Lihat pula Ikmalu Ikmalil Mu’lim 6/40–41 oleh al-Ubai, Faidhul Qadîr 6/434 oleh al-Munawi.
[17]
Syarh Shahih Muslim 14/216
Syarh Shahih Muslim 14/216
[18]
Ar-Raudh al-Anif 7/295, 296. Lihat pula Khizânatul Adab 11/314 oleh al-Baghdadi, al-Fathur Rabbani 17/194 oleh as-Sa’ati.
Ar-Raudh al-Anif 7/295, 296. Lihat pula Khizânatul Adab 11/314 oleh al-Baghdadi, al-Fathur Rabbani 17/194 oleh as-Sa’ati.
[19]
Syarhus Sunnah 12/173
Syarhus Sunnah 12/173
[20]
Lihat al-Luma’ fil Hawâdits wal Bidâ’ hlm. 436–437.
Lihat al-Luma’ fil Hawâdits wal Bidâ’ hlm. 436–437.
[21]
Hasan. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf: 9250, Abu Ubaid dalam Gharîbul Hadîts 3/325 dan dihasankan oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Salman dalam kitabnya al-Ghûl hlm. 116. Dan lihat makna atsar ini dalam an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts 2/6 oleh Ibnul Atsir, Gharîbul Hadîts 1/210–211 oleh al-Khaththabi, al-Fâ’iq 4/103 oleh az-Zamakhsyari.
Hasan. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf: 9250, Abu Ubaid dalam Gharîbul Hadîts 3/325 dan dihasankan oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Salman dalam kitabnya al-Ghûl hlm. 116. Dan lihat makna atsar ini dalam an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts 2/6 oleh Ibnul Atsir, Gharîbul Hadîts 1/210–211 oleh al-Khaththabi, al-Fâ’iq 4/103 oleh az-Zamakhsyari.
[22]
Hasan. Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/284 seraya mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi, tetapi Syaikh al-Albani hanya menyatakan hasan dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 4/346.
Hasan. Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/284 seraya mengatakan, “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi, tetapi Syaikh al-Albani hanya menyatakan hasan dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 4/346.
[23]
HR. Muslim: 883, Ad-Daraquthni dalam al-Mu’talif wal Mukhtalif 2/962 dan Abu Awanah dalam Musnad-nya 1/334–335.
HR. Muslim: 883, Ad-Daraquthni dalam al-Mu’talif wal Mukhtalif 2/962 dan Abu Awanah dalam Musnad-nya 1/334–335.